Agar Tahfizh Jadi Kebiasaan Alami

Terkadang kebaikan itu harus dipaksakan. Dan sebaik-baik pemaksaan adalah muncul dari dalam diri. Misalnya, hari ini saya terlewat bangun shubuh sehingga program tahfizh pun tertinggal. Besok saya harus bayar Infaq jika tidak bangun lebih awal maka dipersilahkan untuk berjalan kaki pergi ke tempat kerja yang jaraknya 10 Km pada hari berikutnya. Dan itu wajib dibayar.Agar di dalam perjalanan bisa sambil muraja'ah hafalan lama.

Pemaksaan untuk berbuat baik itu akan semakin menjadi baik jika dilakukan dengan melalui proses kesedaran jiwa kita. Berlanjut dengan pertanyaan, "Bagaimana membangun kebaikan pada anak-anak atau pelajar-pelajar kita agar mereka terbiasa melakukan kebiasan baik secara alami? adakah dimulakan dengan paksaan? Berikut yang ingin penulis paparkan;

Pahami Masalah Anak dan Tepiskan Masalah Sendiri
Guru atau Ustadz yang datang ke rumah dari jauh untuk mengajar anak kita, tiba-tiba anak kita tidak mau mengaji atau menghafal Al-Quran. Dan seharusnya anak kita yang datang ke rumah ustadz dan bukan ustadz datang ke rumah kita. Lain halnya jika ustadznya belum punya rumah. Kalu kita ikutkan emosi kita sebagai orang tua, sepertinya anak kita ini 'kurang ajar' dan tidak punya rasa hormat kepada guru. Padahal anak kita baru berumur 4 hingga 6 tahunan. Sebenarnya kita-lah orang tuanya yang bermasalah. iaitu kita kurang memahami 'kondisi' anak. kalau sebabnya sudah jelas, tentu kita bisa men-terapinya. Namun kebiasaan buruk kita sebagai orang tua, inginnya cepat segera masalahnya diselesaikan. Anak terus saja dipaksa untuk mengaji.

Kalau memang anak kita sedang tidak berminat 'tahfizh' hari ini, ya terpaksa kita ikut kemauan anak dengan berusaha memahami 'ego'-nya dan ini sedikit lebih baik dibandingkan kita harus memaksanya. Kita orang tua harus 'mengalah' untuk sementara dan sebenarnya kita sedang merintis 'jalan kemenangan' dalam 'pertarungan emosi' dan dalam menaklukan 'kepentingan pribadi'. Kepentingan pribadi berupa keinginan agar anak-anaknya cepat bisa baca Al-Quran, hafal Al-Quran dan khatam 30 juz.

Lucunya kebanyakan kita punya prinsip 'jangan turuti semua kemauan anak' tapi pada saat yang sama kalau kita hitung-hitung betapa lebih banyak kita 'turuti' kemauan anak. Buktinya, setiap pagi kita ikut anak pergi ke sekolah dan jemput di waktu kepulangannya dari sekolah. Bukankah ini namanya 'orang tua ikut anak'? Kalau kita merasa punya pembantu, ternyata itu lebih dahsyat lagi kita 'menuruti kemauan anak'. Ini istilah yang boleh dinafikan namun tidak bisa kita hindarkan.

Sebenarnya kita punya 'bahasa' untuk 'menuruti semua kemauan anak'. Kita 'turuti' kemauan anak dengan setting yang 'unik'. Semakin kita banyak 'menuruti kemauan anak, semakin kita merekayasa mereka untuk melakukan satu, dua dan banyak kebiasaan baik. Salah satunya kita setting 'kemauan' anak dengan diarahkan kepada program 'tahfizh'

Kebiasaan Harian dan Kebiasaan Tahfizh
Sebelum tidur, kita usahakan selalu menemani anak. Buat jadwal secara bergilir antara suami dan isteri agar bisa membacakan surah-surah pendek atau ayat-ayat pilihan di samping anak saat menjelang mata terpejam. Begitu juga saat bangun dari tidur di pagi hari. Di dalam perjalanan ke sekolah pun kita biasakan hal itu. Ingat, kita sendiri yang melakukannya; membaca, menghafal dan mengulang-ulang hafalan di sisi anak-anak kita. Sehingga kebiasaan baik kita itu menular menjadi kebisaan 'tahfizh' pada diri anak.

Bersambung....

(sumber: Quranuna.multiply.com)